Thursday, February 24, 2005

Wawancara satu babak...


(Pangung gelap)

(Lampu menyala, menyorot sebuah meja dan dua kursi berdapan-hadapan di atas panggung)

(Terwawancara memasuki panggung diiringi Gila)

(Terwawancara duduk, di sampingnya berdiri Gila)

Gila: Sudah yakin dengan keputusanmu?

(Terwawancara mengangguk-berat,enggan)

Gila: Tidak mau kau pikir-pikir lagi? (berbisik di telinga terwawancara)

Terwawancara: (menarik nafas panjang) Keringat dingin… (melihat telapak tanggannya)

Gila: Belum juga mulai sudah ngeri sendiri… (menyindir)

Terwawancara: Aku…gugup… (gelisah)

Gila: NORAK! Seperti yang pertama saja… (mencibir)

Terwawancara: Memang ini yang pertama… bertemu… dia…

Gila: Sama saja! Mereka semua itu sama, BO-DOH! (mencibir)

Terwawancara: Jangan berisik! Kau terpaksa kubawa! (geram dan gelisah)

Gila: Huh?? Apa?? Terpaksa?! MENGHINA!

Terwawancara: Aku cuma butuh suporter! Suporter yang tidak banyak cing-cong!

Gila: Huh! Butuh bantuan saja kok gayanya selangit!

Terwawancara: Kalau tak terpaksa pun, kau tak akan kuminta hadir di sini! Aku butuh
‘Akal Sehat’…Tapi dia sedang sakit…

Gila: Kau tidak butuh ‘Akal Sehat!’ Sudah ada aku! CUKUP!

Terwawancara: Dia memang sudah sekarat…

Gila: Dan ingat,aku bukan si ‘Akal Sehat!’ Berhentilah
menyebut-nyebut namanya! Kau ingin aku di sini atau tidak?

Terwawancara: Tinggalah sejenak… kumohon…

Gila: Jangan LAMA-LAMA! Aku tak suka berurusan dengan orang waras LAMA-
LAMA!

(Pewawancara memasuki panggung)

(Terwawancara berdiri)

(Gila perlahan-lahan meninggalkan panggung)

Pewawancara: Selamat sore… terima kasih telah datang.
Saya pewawancara…

Terwawancara: Saya terwawancara…

(Pewawancara dan Terwawancara bersalaman)
(Pewawancara dan Terwawancara duduk berhadap-hadapan)
(Pewawancara membolak-balik resume Terwawancara)

Pewawancara: Resume Anda bagus. Sudah lama bekerja?

Terwawancara: Seumur hidup saya…

Pewawancara: Bagus, itu yang kami cari…
Baiklah, katakan pada saya, mengapa kami harus mempekerjakan
Anda?

Terwawancara: (berbisik) Saya … punya…GILA…

Pewawancara: GILA? Maksudnya?

Terwawancara: Yah…betul… saya punya KEAHLIAN ‘GILA’ (tersenyum bangga)

Pewawancara: Oh, maksud Anda… keahlian GILA?Wah, saya tak menyangka!!
GILA itu kemampuan langka! Mengapa Anda tidak cantumkan di
resume Anda…

Terwawancara: Saya malu…Saya kan belum lama mengusai si GILA…

Pewawancara: Jangan minder begitu, kebanyakan orang yang baru bisa menguasai
DEPRESI saja, sudah mengaku-ngaku kalau mereka itu GILA…

Terwawancara: Tapi dulu saya tidak perlu menguasai depresi untuk jadi GILA
begini…

Pewawancara: Wah, hebat sekali Anda! Jadi, bagaimana akhirnya Anda bisa punya
kemampuan GILA?

Terwawancara: Kata orang sih bakat alam… talenta… Tapi menurut saya… GILA itu
harus dipupuk… GILA ngga akan datang begitu saja…Yah selain
bakat tadi itu tentunya…

Pewawancara: (mengangguk-angguk) Menarik…menarik… Kalau begitu? Kerabat
Anda pasti ada yang GILA juga? Bakat keturunan mungkin?

Terwawancara: Hmm… Mungkin belum bisa disejajarkan dengan saya… kebanyakan
yah baru bisa depresi… paling banter juga sebatas halusinasi… belum
ada yang bisa divonis menguasai keahlian GILA seperti saya ini
(semakin bangga)

Pewawancara: Ehm, coba ceritakan pada kami… soal… hubungan
Anda dengan atasan Anda yang terdahulu… tercatat di sini…
adalah… Saudari ‘Hati Nurani…’

Terwawancara: Saya ini KORBAN! KORBAN PERMAINAN POLITIK
KOTORNYA!

Pewawancara: Maksud Anda?

Terwawancara: Siapa yang tidak akan termakan omongan manisnya? Dia sebarkan
issue kalau saya ini cuma PURA-PURA!!! Bayangkan!!! Saya
ini sungguhan GILA!!! GILAAAAA!!! Bayangkan! Para bawahan
saya langsung meragukan kemampuan GILA saya! Memang kalau
saya pura-pura lantas dia bisa langsung mengusai GILA-nya saya??!
Dasar SINTING! (berapi- api)

Pewawancara: Tunggu… tunggu… (berpikir) Mungkinkah Saudari
‘Hati Nurani’itu sebetulnya iri pada Anda karena dia tidak bisa
mempengaruhi Anda untuk melepaskan keahlian GILA Anda….

Terwawancara: Lantas dituduhlah saya cuma pura-pura belaka… (bersemangat)

Pewawancara: Dengan argumen sekedar mencari sensasi dan mendongkrak harga diri
dengan cara mengaku-ngaku GILA?!

Terwawancara: (menggebrak meja) DAN SAYA TAHU MOTIF SEBENARNYA!

Perwawancara: APA??? (ikut-ikutan menggebrak meja)

Terwawancara: (berbisik, maju mendekati wajah Pewawancara) ‘Hati Nurani’
sebenarnya….

Perwawancara: Ya….. (tegang)

Terwawancara: Ehm…. (berdehem) dia… dia… masih mencintai saya….

Perwawancara: Apa?!!! (terkejut) Jadi Anda dan ‘Hati Nurani’ pernah….

Terwawancara: Yah… cerita lama… (tersipu-sipu) Kami memang pernah bersama…
dulu… tapi… sejak saya memutuskan untuk menjadi GILA…
(menarik nafas) Anda tahu syaratnya kan?

Perwawancara: Ya… (prihatin) Kalau ingin betul-betul GILA, Anda harus
meninggalkan segalanya, termasuk cinta…. (menarik nafas panjang)
Menyesalkah Anda?

Terwawancara: (tersenyum terpaksa) Itu masa lalu…

Pewawancara: Ehm,ehm…Tercantum di resume Anda bahwa referensi Anda adalah
Saudara ‘Akal Sehat?’

Terwawancara: Ohhh iya betul… (tertunduk)

Pewawancara: Ada yang salah dengan pertanyaan saya?

Terwawancara: Oh, tidak, tidak ada… Hanya… mungkin Anda tidak bisa
menghubunginya dalam waktu dekat ini…Saudara ‘Akal Sehat’
sedang…. sekarat….

Pewawancara: Oh maaf…

Terwawancara: Dia…. Lebih dari sekedar referensi… dia… sahabat saya… dulu…
(sedih dan emosi)

Pewawancara: Kalau boleh saya tahu… apa yang terjadi?

Terwawancara: Dia… kecewa… pada… saya… pada keputusan saya…

Pewawancara: Karena… Anda lebih memilih GILA daripada dirinya…

Terwawancara: Saya telah mengkhianati persahabatan kami…
Dia betul-betul kecewa…dia berusaha membunuh dirinya…

Pewawancara: Apa?! Mengapa??!!

Terwawancara: Dia tak ingin saya datang ke wawancara ini… dia tak ingin saya
bekerja untuk Anda…

Pewawancara: …. (terdiam) Semua ini akan menjadi keputusan Anda…

Terwawancara: Saya tahu…

Pewawancara: Baiklah… saya rasa semuanya telah jelas… (membereskan berkas-berkas
resume Terwawancara)
Saya sudah mengambil keputusan! Dan…. Anda saya terima!
(tersenyum)

Terwawancara: Apa???? Sungguh??? (terkejut)

Pewawancara: Ya! Profil dan kualifikasi Anda lebih dari memuaskan!

Terwawancara: Betulkah???

Pewawancara: Ya tentu saja! Anda GILA, bujangan yang tak lagi
terlibat hubungan asmara dengan ‘Hati Nurani,’ sahabat Anda pun si
‘Akal Sehat’ nekad ingin bunuh diri karena Anda tinggal pergi!
Kurang apa lagi??

Terwawancara: Oh, terima kasih! Terima kasih sebesar-besarnya…

Pewawancara: Dan Anda tinggal menandatangani dokumen ini… (mengeluarkan
sebuah dokumen)

Terwawancara: (tergesa-gesa) Di mana saya harus tanda tangan? Di mana????

Pewawancara: Di sini…. (menunjukkan kepada Terwawancara)

(Terwawancara tergesa-gesa menandatangani dokumen tersebut)

Terwawancara: Ini, sudah saya tanda tangani…(menyerahkan dokumen kepada
Pewawancara) Jadi, kapan saya bisa mulai bekerja?

Pewawancara: (tersenyum memandang dokumen yang telah ditandatangani Terwawancara)
Anda bisa mulai bekerja sebagai ‘WARAS’ setelah Anda mengikuti
training ‘pembaharuan jiwa’…. (tersenyum)

Terwawancara: APA?!!! Apa-apaan ini?! Saya ke sini bukan ingin menjadi
‘WARAS!’ Saya ini GILA! Lelucon apa ini?!

Pewawancara: Ini bukan lelucon BUNG! Anda telah menandatangani kontrak kerja
sebagai ‘WARAS’ di perusahaan saya: “Rumah Sakit Jiwa!” Ini
tanda tangan Anda kan? (menunjukkan dokumen yang telah ditandatangani
Terwawancara)

Terwawancara: Iya tap… tapi…. (gelisah) Saya tidak mengerti!!! Saya ke sini
mendaftar sebagai ‘MATI’saya mau ‘MATI!’ Anda siapa?? Saya
seharusnya bertemu dengan ‘El-Maut!’ Dan perusahaan Anda
harusnya adalah ‘Institusi Mati?!’

Pewawancara: Maaf Bung! Anda salah alamat! Siapa pun yang memberikan
informasi itu, pasti ingin menjebak Anda, dan kebetulan sekali, Anda
terjebak! (tersenyum mengejek) Sudahlah, terima saja nasib Anda… Anda
akan kembali menjadi ‘WARAS!’

Terwawancara: TIDAAAAAAAAKKK!!! Saya ini GILA! Saya tidak mau menjadi
WARAS! Brengsek! Ini pasti… pasti … ulah si ‘Gila!!!’
Brengseeekkkkkk!!! (marah, berteriak lantang)

(Datang dua orang laki-laki menghampiri terwawancara)

Terwawancara: Mau apa kalian??? Hah??? Mau apa??

Pewawancara: (berkata pada dua orang laki-laki) Kenalkan…ini rekan kerja baru kalian…
‘Waras-in training’… Tolong tunjukkan padanya fasilitas perusahaan
kita

(Dua orang laki-laki menyeret Terwawancara yang meronta-ronta keluar panggung)

Terwawancara: GILAAAAAAAA… BANGSAT KAUUUUUUUUU!!!
BANGSAAAAAAAAAAAATTTTT….

(Tampak di panggung Pewawancara berdiri sendiri, perlahan-lahan keluar Gila dari sudut panggung)

(Gila bertepuk tangan, membahana)

Gila: HAHAHAHAHA, BAGUUUUSSS! Bagusss… Bravoooo, bravooooo!

Pewawancara: (tersenyum, sinis) Simpan tepuk tangan itu untukmu sendiri…

Gila: Hmm? Ada apa ini? Mengapa jadi sinis begini? Hah? Apa salahku?

(Gila menghampiri Pewawancara, menggoda…)

Pewawancara: Simpan bujuk rayumu… Sudah puas kau?

Gila: Hati-hati kalau bicara sayang… Kau sendiri yang…

Pewawancara: Seharusnya aku tahu… kalau ternyata kau secantik dan seindah
ini… jelas ia tergila-gila padamu…

Gila: Lantas apa? Mau mengutuki aku yang tercipta begitu menggoda?

Pewawancara: Sudah kusingkirkan dia… (terdiam) demi kau… untuk kau…

Gila: Dan kini aku milikmu… seorang… (bergelayut manja pada Pewawancara)

Pewawancara: Mungkin suatu saat kau akan meninggalkanku juga seperti kau
meninggalkan dia….

Gila: Jangan takut sayang… aku tak kan pernah pergi…

Pewawancara: Janjimu… seperti yang terdahulu…

Gila: Kau harusnya tahu… aku tak mungkin bisa bersatu dengan orang kebanyakan…
Aku dan kamu… sejoli…Kau pikir aku tak tahu identitas aslimu?
Sayangkuuuuu….sayangkuuuuu….

Pewawancara: Kau pikir kau tahu siapa aku?

Gila: Kamu… Dusta…

Pewawancara: Percayakah kau padaku?

Gila: Hahaha, aku si ‘Gila’ tak bisa percaya pada sang ‘Dusta?’ Ini baru lelcucon!

Pewawancara: Menyesal kau dengan kolaborasi kita nantinya?

Gila: Selama kau membawa orang-orang yang memuja-mujiku, dengan dustamu
tentunya, untuk menjadi ‘mati’ padahal untuk di ‘waras’kan di institusimu ini…
tidak.. aku tidak menyesal…

Pewawancara: Untungnya bagimu?

Gila: Tidak ada… Aku hanya senang banyak orang Gila yang ingin ‘Mati’, tapi tidak
akan kesampaian…Hahahaha…. Dengan begitu mereka semakin gila… dan
aku… semakin dipuja….

Pewawancara: Sungguh kau GILA!

Gila: Terima kasih…Itu memang nama saya…

(Panggung gelap, tirai tertutup)

*****

Wednesday, February 23, 2005

"Wahai Cinta..."

Wahai cinta…
Apa kabarmu di sana…
Tersenyum simpul tengah membaca
Bait-bait yang akan tersedia…
Untukmu saja…

Wahai cinta…
Izinkan kumemanggilmu cinta…
Karena cintaku bukan hanya untuk kekasih jiwa..
Bagimu juga sobat penghibur lara…

Wahai cinta…
Selalu jadi kalimat pembuka…
Entah ini ungkapan sayang atau guyonan belaka…
Buatku itu terdengar mesra…
Dari hati seorang sobat lama…

Wahai cinta…
Telah banyak yang kita lewati bersama…
Beribu cerita, beribu tawa dan beberapa tetes air mata…
Beberapa tetes… karena sisanya telah kau jelma jadi gelak tawa…

Wahai cinta…
Sosokmu selalu hadir di sana…
Sekedar ada…
Kadang kita tak butuh aksara…
Kadang kita tak perlu berteriak selantang-langtangnya…
Karena kita ada… Karena hadirlah kita…

Wahai cinta…
Segala angan, segala mimpi dan segala cita…
Menjelma cerita kita…

Wahai cinta…
Ingatlah aku…
Bukan hanya di sini… di dunia ini…
Karena aku tahu…
Entah di suatu masa…
Kita kan selalu ada…

Dan bila kita bertemu lagi…
Nanti…
Izinkan ku tetap memanggilmu…
Wahai cinta…

ITe-18 January 2005: 00.57 pagi
Ini buatmu cinta….

TeMan...

Dalam senyum kau bersamaku
Dalam gelak ku besertamu

Dalam tangis kau merengkuhku
Dalam duka ku merangkulmu

Dalam resah kau di sisiku
Dalam gundah ku di sampingmu

Dalam rindu bersemi kau di hatiku
Dalam ragu bertanya ku di benakmu

Dalam seribu cerita
Seribu bahasa
Seribu makna
Dan beribu kata…

Dalam seiring masa
Seabadi alam raya
Sejatinya semesta

Dalam babak ini
Dalam episode ini
Hingga akhir nanti
Sampai kita bersua lagi

Ku kan berlari
Kau kan menari
Ku kan terbang tinggi
Kau kan gapai mentari

Dan kita pun berdiri
Di atas angan,
Megahnya mimpi…

“Lihatlah kawan, tergapai segala angan…”

Karena dalam nadiku ada nafasmu,
Dalam ragamu mengalir darahku,
Dalam denyutmu ada nyawaku,
Dan dalam hidupku di sanalah jiwamu…

24 November 2003
For the best friends alive!

DeTik

Sepertinya aku perlu tertawa,
Sebelum aku lupa bagaimana caranya…

Sepertinya aku perlu menangis,
Sebelum air mataku mengering habis…

Sepertinya aku perlu merindu,
Sebelum hatiku mengkristal beku…

Sepertinya aku perlu mencinta,
Sebelum menguap segala rasa…

Sepertinya aku perlu berlari,
Sebelum segala syaraf melemah mati…

Aku mulai lupa caranya tertawa,
Aku mulai tak tahu caranya menangis,
Walau terkadang aku masih merindu,
Ke manakah perginya segala cintaku?

Rasanya sebentar lagi aku akan mati…

Hanya aku yang ingin memulai lagi:
Biar ku-ukir seulas senyum kembali,
Biar kunikmati tetes demi tetes air mataku ini,
Aku masih ingin merindu segala rasa di hati,
Aku masih ingin mencinta seribu tahun lagi,
Dan biar ku berlari menggapai segala angan dan mimpi…

Sepertinya aku perlu hidup…
Detik ini…

Ite
-3 May’04… perlu hidup-

GuSti

Selamat pagi Gusti…
Ini saya abdi…
Anu Gusti…
Apa kabarnya pagi ini?
Baik-baik kan Gusti?
Pasti…
Duh… saya ‘ndak pinter basa-basi…

Itu loh Gusti…
Hari ini…
Hari jadi…
Hari jadinya saya di dunia ini…
Mosok Gusti lupa?
‘Wong nafas saya Gusti yang beri…

Gusti memang Maha Mengerti…
Saya ‘ndak perlu bilang apa-apa lagi…
Gusti langsung manggut-manggut sendiri…
Saya jadi ‘ndak enak hati…

Ampun loh Gusti…
Saya memang abdi yang tak tahu diri…
Kalau senang, ketawa ketiwi…
Mana pernah ingat sama Gusti?

Giliran susah, sedih, nangis berhari-hari…
Baru ingat sama Gusti…
Lantas nongol di depan Gusti…
Se’senggruk’an ‘ndak berhenti…
Minta dikasihani…

Tapi hari ini Gusti…
Abdi beranikan diri…
Datang menghadap Gusti…

Mengadu lagi…

Ampun Gusti…
Hampir seperempat abad saya hidup di dunia ini…
Kok yang ada hampir setiap hari…
Rasanya saya cuma mengutuki diri…

Bingung apa yang harus saya benahi…
Nyari senang… tapi kata Gusti…
“Bahagia ngga bisa dibawa mati”
Nimbun harta setinggi ini…
Cuma jadi sampah di kemudian hari…

Jadi saya harus apa dong Gusti?

Mosok saya mesti bunuh diri…
Lari dari dunia ini…
Cuma biar bisa hepi?
Sudah rugi mati, nanti juga diomeli Gusti…
Emoh lah saya, ‘ndak jadi…

Gusti…
Jangan bosan dengar saya ngalor ngidul begini…
Cuma Gusti yang mengerti…
Senang, susah, bingung, marah, numplek di hati…

Sebelum saya undur diri…
Ampun Gusti…

Terima kasih…
Untuk nafas yang Gusti beri…
Untuk raga ini…
Untuk hidup yang meski kejam tetap bisa saya nikmati…

Permisi Gusti…
Tahun depan saya pasti kembali…

iTe-17 February’05
untuk Sang Gusti…

KarenaMu...

Adakah ini nyata?
Kita bernaung di bawah langit yang sama

Adakah ini realita?
Kita memandang satu bintang di ufuk langit sana

Tersenyum kau pada sang rembulan jelita
Pun terulas tawa saat kupandang cakrawala

Beribu mil dan beribu kecepatan cahaya
Adakah segala jarak dan dimensi semesta
Berkuasa atas segala rindu, segala cinta?

Rinduku pada birunya langit di sana,
Pada hijaunya rumput, semerbak bunga…
Rinduku pada ombak bergulung, bercengkrama…
Padamu… wahai samudera…

Rinduku pada alam persada,
Pada segala manusia…sesungguhnya…
Pada senyum… pada gelak tawa….
Tulus… apa adanya…

Dan saat kumerindu…
Padamu wahai pertiwiku…
Biar kupandang secarik langit, sepotong jagad dan sebentuk semesta…

Kita bernaung di bawah langit yang sama,
Kita memandang satu bintang di ufuk langit sana,
Dan rinduku akan tetap ada…

Merinduku… padamu… pertiwiku…

-iTe-
16 Jan’05, 21.58 pm
Karenamu…. Rinduku…

Friday, February 18, 2005

Dunia sialan...


aku dibunuh dunia sialan

ragaku hilang
nyawaku pergi
jasadku terbang
jiwaku mati

aku dibunuh dunia sialan
perlahan-lahan
penuh penghayatan
atas nama kehormatan

aku dibunuh dunia sialan
biar kumati penasaran
menjelma dedemit atau setan
atas nama kemurkaan

aku belum mau mati
saat ini
detik ini
biar dunia sialan membunuhku
biar aku dibunuh dunia sialan

tapi bukan anganku
karena ia tetap bernapas dalam raga matiku
ia tetap berdenyut dalam jasad busukku
biar kini kubunuh dunia sialan itu

atas nama anganku ...

ite 24/02/04

eDaN'e


Karena segala tanya dalam otakku semakin menggila.
Karena dalam segala huru hara ku akan terus menyapa.

Seandainya bisa mati seluruh indera,
seandainya ada pil pelepas derita,
seandainya hilang segala rasa.

Alangkah indahnya!

Sedetik ini saja:
biar kumelihat tanpa bola mata,
biar kuteriak tanpa suara,
biar kumendengar tanpa telinga,
biar kumerindu tanpa cinta,
Dan biar kumencinta tanpa alasan apa-apa.

-ite- 11/12/03 di waktu lunch suatu senja

Limbungku...


Adalah rintik yang datang di kelam malam.
Adakah kau tahu segala galau gulanda?

Dan rintikmu bergema, deras menerpa.

Ingin kuberlari menyapa,
ingin kumerengkuh penuh cinta.

Rasakah segala resah di dada?
Rasakah segala riuk redam rindu dan kecewa?

Rangkullah aku dalam rintikmu,
Peluklah aku dalam derasmu,
Satukan jiwaku dalam kalbumu.

Bawa aku dalam wujudmu,
Lebur aku dalam ragamu,
Biar mati segala rasaku.

-ite- 09/12/03 di tengah topan badai di malam buta

Jua...


Karena mungkin rasa itu belum tiba seutuhnya, segenapnya.
Dan mungkin senyum ini hanya untuk sementara.
Penghias raut, pemanis ala kadarnya.

Aku tetap limbung, bertanya,
mencari sebuah kata, pengungkap seluruh rasa di jiwa.

Dan senyumku bukan untukmu, untuknya atau untuk mereka.
Senyum ini masih milikku saja, hingga tiba nanti saatnya.

Senyumku bukan milikku semata,
senyumku riangnya,
riangku air matanya,
air mataku resahnya,
resahku rindunya,
rinduku gelak tawanya,
gelak tawaku nadinya,
hidupku jiwanya.

Dan bila saat itu tiba,
senyum ini bukan lagi senyum hampa,
dan tawa ini bukan lagi tawa nestapa.

Jiwaku jiwanya, nyawaku nyawanya.
Dan di hatiku berlabuh seluruh cintanya.

-iTe- 08/12/03 hasil kontemplasi jiwa 00:20

Biar dunia tertawa...


Pernakah kamu merasa untuk menertawai dunia sekali saja?
Tak perlu sering-sering, cukup sekali saja.
Tak bosankah kamu selalu ditertawai dunia?
Tak bosankah kamu selalu jadi objek penderita?

Aku bosan….
Maka biarlah kutertawai dunia ini.
Biarlah kutertawai dunia jelek ini untuk sekali saja.
Biar ku-cibir-i dunia tak tahu malu ini.

Karena aku sudah tak punya urat malu.
Dan karena telah sering pula aku dipermalukan.
Dan seandainya aku tak perlu pura-pura bahagia dan bangga
di tengah per-olok-olokan diriku sendiri - sekali lagi… oleh dunia sialan ini.

Maka bolehkah aku menghatur segala rasa hormat,
untuk sekedar melapor ijin, tersenyum ala kadarnya,
karena aku merasa hari ini aku telah bisa tertawa-menertawai dunia.

Karena biar ragaku diperbudak harta,
karena biar segala darah dan dagingku
tersenyum puas pada segala tahta dan kuasa…

Jiwaku masih terbang lepas, terbang bebas mengelana.
Jiwaku masih bisa tertawa.
Sekencang-kencangnya pada dunia.

Dan jiwaku kini jadi aktor utama.
Biar dunia hanya pegang peran pembantu saja.
Yang cuma lewat sepintas lalu, tanpa kata-kata.
Karena aku tak mau diperbudak dunia.

Karena buatku dunia tak pernah ada.
Yang ada hanya panggung sandirwara.
Dan sialnya dulu aku hanya jadi peran figuran belaka.
Si dunia sombong keburu bercokol di sana.
Tertawa menang jumawa: hihi-hoho-haha.
Sepertinya dia kenal dengan Pak Sutradara.
Mungkin Pak Sutradara jadi korban korupsi semata.
Oleh si dunia yang suka semena-mena seenak jidatnya.
Dia pikir semua bisa dibeli dengan harta.
Huh, sorry lah ya! Bukan saya!!!

Dan dengan demikian ijinkan aku kembali ke dunia nyata.
Di mana aku kini hanya bisa tersenyum… sekali lagi… sekadarnya.
Di mana saat ini aku cuma bisa meratap nyeri…
Dan menatap ngeri…
Aku tak mau mati… bukan saat ini…

Belum…

Kelamnya malam...


Gulitanya semesta…
Terangnya lampu-lampu kota…
Mengukir lukisan angkasa…
Bintang-bintang bermain mata…
Dan bulan tersenyum jenaka…

Wahai semesta, letihkah kau slalu terjaga?
Wahai angkasa, pernakah kau bertanya-tanya?
Wahai bintang, bosankah kau terpampang di sana?
Wahai rembulan, kapan kau berjumpa sang surya?

Dan malam semakin kelam…

Melarutkan segala kebimbangan dan kebingungan…
Menghanyutkan segala pertanyaan dan kelimbungan…
Melagukan segala nyanyian kehidupan…
Menidurkan segala mimpi, segala indah khayalan…

Dan malam semakin dalam…

Dalam pencarian rahasia jagad raya…
Dalam pengembaraan di biduk semesta…
Dalam keraguan…
Dalam penemuan sebuah pertanyaan…
Dalam mempertanyakan sebuah jawaban…

Aku tetap berdiri di sini…
Dan kutatap alam di malam hari…
Tersenyum padaku sang bintang sejati…
Bermain mata, menghibur diri…
Aku tak sendirian lagi…

Dan malam kini tenggelam…

~Ite, 11.50 malam…~
“sebuah malam, kawan sejati…”

Saya adalah...


Saya adalah seorang pujangga…
Kata-kata adalah saya…
Saya adalah kata-kata…
Saya bercinta dengannya…
Dengan seluruh jiwa raga….

Saya adalah seorang biduan…
Dengan melodi saya berkawan…
Dengan nada saya rasakan…
Indah, suram, manis dan pahit kehidupan…

Saya adalah seorang seniman…
Berkarya di atas panggung kehidupan…
Berganti-ganti wajah dan peran…
Menghanyutkan emosi para pirsawan…

Dan saya bertanya pada sang pujangga…
Sampai kapan kita akan terus bercinta?

Lalu saya bertanya pada sang biduan…
Akankah sang melodi menghapus segala kehampaan?

Dan kau…sang puteri panggung sandiwara…
Sampai kapan kau akan berpura-pura?

Tapi aku adalah mereka…
Mereka adalah aku…
Dan kami adalah satu…

Dalam darah dan nadi ini…
Dalam tangis dan tawa ini…
Dalam sepenggal kehidupan ini…
Dalam sepenggal babak ini…

Biarkan kami bergulir bersama…
Biarkan kami terkungkung bersama…
Biarkan kami berlalu bersama…
Biarkan kami wahai sang Perasa…

Saya adalah seorang pujangga…
Saya adalah seorang biduan…
Saya adalah seorang seniman…
Dan saya… akan menjadi seorang saya…

Ite-2 Feb’02

Pecinta Jagad...


Ku kan rindukan kau…

Dalam sebuah kisah:

Dalam sebentuk desah,
Dalam setitik darah,
Dalam segalau gundah,
Dalam seredam resah…

Ku kan kasihi kau…

Dalam sepotong mimpi:

Dalam segurat nadi,
Dalam sebongkah hati,
Dalam serelung sanubari,
Dalam selantun indah melodi…

Ku kan mencinta kau…

Dalam selalu masa:

Dalam senafas raga,
Dalam seinsan jiwa,
Dalam sehembus nyawa,
Dalam segulir asmara…

Dan ku kan merajut selirik aksara,
Melantunkan sebait nada,
Merangkai sebentuk maha karya…

Menggores bentangan cakrawala,
Mengarungi semesta samudera,
Menggapai bintang penghias angkasa,
Menatap bulan bermandi cahaya,
Merengkuh rindu sang surya…

Bagimu wahai sang pecinta…

Kutersunggkur menghatur jasad penyatu jiwa…

-iTe-
Sat, 26th March’03 ~ 12.40 malem
“Wahai pecinta jagad raya…”

Anadre’p, amatre’p, Naalumre’p...


Anadre’p, amatre’p, Naalumre’p…

Selamat berjumpa!

Dengan saya… si empunya blog… yang merasa sedikit banyak harus bikin kata-kata pengantar layaknya penulis yang baru menelurkan sebuah mahakarya.
Bukan oh bukan, saya bukan penulis kenama’an… masih jauh dari impian…
Saya hanya satu dari berjuta-berjuta manusia yang telah jatuh cinta pada aksara…

Inilah perdana… pertama… permulaan…

Judul aneh di atas bukanlah diangkat dari bahasa manapun juga.
Jelas bukan bahasa Cina, India, Belanda, atau Spanyol’a.
Bahasa sederhana… yang artinya yah itu tadi:
Anandre’p adalah perdana…
Amatre’p adalah pertama…
Naalumre’p adalah permulaan…

Loh, kok artinya maksa? Ah, ngga juga…
Coba dibalik saja: a-n-a-d-r-e-p ialah… p-e-r-d-a-n-a…

*nyengir*

Merasa tertipu karena telah dipaksa berpikir?
Lah jangan… tiada niat saya menipu siapa pun juga…

Tadinya saya ingin memakai kata “mulai” tapi ketika dibalik, ia jadi berbunyi “ialum.” Kok kurang keren ya kedengarannya? Kemudian saya mencoba mengulik kata “awal,” yang kalau dibalik menjadi “lawa.” Lawa ini bagus artinya… dalam bahasa Melayu artinya cantik. Tapi sekali lagi tidak jadi saya pakai, karena alasan yang lebih klise: menghindari makian dari teman-teman terdekat saya yang pasti berasumsi bahwa sang “lawa” ditujukan pada diri saya sendiri. Walaupun dengan demikian sebetulnya dosa saya berkurang karena seditidaknya jujur pada diri sendiri mengakui dirinya “lawa.”

*senyum*

Lucu ya rasanya…
Aksara yang menjelma kata,
kata menjelma kalimat,
dan kalimat bisa menjelma cerita…
Tapi awalnya tetap satu… sang aksara…

Dan dalam bahasa apapun juga, sang aksara tetaplah aksara. Aksara yang penuh makna. Mungkin saya dan produser acara quiz “Aksara Bermakna” di sebuah stasiun tivi yang dulu sempat populer; telah melalui proses meditasi yang sama. Mungkin visi kami yang sedikit berbeda: saya yang selalu senang dan penasaran mengulik segala macam kata tanpa pernah berpikir untuk menjadikan hobby ini sarana pendapatan ala kadarnya, sementara sang produser pastinya ingin acaranya laku dan terkenal, supaya slot iklan habis terjual pada jam tayangnya. Tapi kami tetap punya persamaan! Sama-sama manusia… *lawakan kuno jaman baheula, ngga lucu pula, ayooo, jangan ada yang ketawa!*

Dan mengapa saya memilih topik “aksara” sebagai awal tulisan saya? Saya sendiri juga kurang tahu. Mungkin saya merasa judul blog saya yang notabene “Atas Nama Aksara” perlu sedikit penjelasan. Dan saya bersikukuh (sampai saat ini) emoh menulis deskripsi judul yang telah dibatasi jumlah karakternya. Karena menurut saya ngga adil! Dan sama tak adilnya dulu ketika saya ingin menulis untuk majalah sekolah, entah di SD, SMP, SMA, selalu sama: diwanti-wantilah saya oleh sang pemimpin redaksi (Pemred):

Pemred: “Te, ngga boleh lebih dari sekian ratus/ribu kata ya…”
Saya : “Kok ngga boleh lebih? Kurang boleh?”
Pemred: “Hmmm, yah kira-kira segitu lah, pokoknya ngga boleh lebih, kalau lebih,
nanti kita edit…”
Saya : “Ngga adil amat… masa ngga bole lebih? Dikiiiiittt gitu…” (cemberut)
Pemred : “Yah, itu kan udah peraturannya… Kurang lebih segitu!” (ngotot)
Saya : “Lah itu barusan bilang: kurang lebih… Berarti boleh dong? Kurang dikit,
lebih dikit…” (ngga kalah ngotot)
Pemred: “Eh, lo tuh mau nulis ngga sih? Kalau ngga mau juga ngga apa-apa, gue bisa
kasih tugas ini ke orang lain kok! Belagu amat sih! Kayak reporter terkenal
ajah, tulisan lo juga ngga bagus-bagus amat kok, gue dah pernah baca,
ngalor ngidul gitu ngga jelas, ngga berdasarkan fakta! Udah deh, take it or
leave it…”

Saya diam… dengan mulut sedikit menganga…
Tidak menyangka.. pemimpin redaksi majalah saya yang sedemikian cantik dan halus perangainya ternyata juga bisa sedemikian galaknya. Hanya karena selisih pendapat kami soal kurang lebih. Kurang lebih begitu lah…

Singkat kata, singkat cerita…pada akhirnya saya memang ngga pernah bisa bertahan lama di majalah sekolah, entah karena Pemred yang cantik tapi galak itu (pakai acara tuduh-tuduh tulisan saya ngga bermutu lagi, tahu begitu kenapa saya tetap dipekerjakan coba?) atau karena sebab musabab lain yang sempat membuat saya berpikir, apakah betul saya yang salah? Karena kembali ke masalah pembatasan karakter tadi, secara tidak langsung saya merasa bahwa imajinasi dan kreativitas saya telah ter-jeruji, oleh terali besi yang kasat mata. Tidak saya pungkiri, di mana pun, dalam wadah apa pun, pembatasan karakter itu harus ada. Contoh sederhana: sms. Alangkah senangnya saya kalau saya bisa mengirim beratus-ratus karakter dalam satu sms, ngga hanya 160 karakter.Tapi nanti judulnya bukanlah lagi SMS tapi VVVLMS- very very very long message. Contoh lain: lomba mengarang yang telah saya tekuni sedari SD dulu. Ngga mungkin juga kan saya adu argumen dengan para juri untuk memberi saya “dispensasi” unjuk gigi menulis lebih dari batas jumlah kata yang telah disetujui. Nanti saya dituduh pamer, atau malah yang lebih parah, seperti kata si Pemred cantik di atas: “Ngalor ngidul ngga jelas.” Lah, orang namanya nulis, mau ngalor ngidul juga boleh toh? Boleh ngga saya membahas judul artikel pertama saya, mengajak pembaca bermain mengulik kata perdana, lantas bicara soal produser quiz “Aksara Bermakna” sampai akhirnya protes soal keterbatasan karakter deskripsi judul blog saya? Sadarkah Anda, saya telah membawa Anda membaca berbagai topik yang berbeda? (Tapi sungguh, ini tidak disengaja…)
Sekali lagi, saya tidak menyalahkan adanya keterbatasan aksara, di mana pun juga, dalam wadah apa pun juga. Alangkah bahagianya memang, jika saya bisa menulis, tanpa ada beban apa-apa. Terlepas dari beban mbak Pemred yang cantik, terlepas dari beban para juri yang menilai setiap kalimat, kata bahkan titik dan koma. Dan itulah tujuan utama saya menulis di blog ini (selain ingin membutikan pada dunia bahwa saya ngga gatek-gatek amat, ga ketinggalan jaman amat, dan biar bisa konek sama temen-temen yang sudah buka praktek blognya sedari tempoe doeloe). Bukan untuk pamer, bukan mencari pujian, semoga tidak dicela juga, hahaha. Saya hanya ingin menulis. Mengungkapkan cinta saya pada si aksara yang tak pernah pudar. Dan jangan pernah pudar. Mohon maaf bila saya khilaf, ada salah kata sebelumnya dan nantinya.

Dan seperti kata mbak Dee dalam buku pertamanya “SUPERNOVA”
(Permisi mbak… saya kutip kata-katanya sedikit…)

“Menulis adalah perjalanan menjuju satu kelahiran…”

Untuk saya menulis adalah juga ungkapan cinta…
Pada segalanya…
Hidup, nafas, raga, tawa, derita, suka, duka, nestapa, angkara…

Dan sekali lagi pada cinta saya…
Pada sang aksara…

iTe-18 February’05
Perdana di kala senja…

NB: Cobalah ulik kalimat berikut, “!Ey hin aynacab hasus” untuk menemukan pesan
tersembunyi. Beri tahu saya kalau sudah tahu jawabannya… tapi janji, jangan
marah yaaaaa…

Salam…