Thursday, June 30, 2005

Sobat...


“Dan di sanalah kita berdiri,
Tertawa,terbahak dan tersenyum lagi,
Meraung, menangis, tak pernah henti,

Sayang…, kapan kita bersua lagi?
Di sini, di tempat ini, seribu tahun lagi,
Kita tak hanya berdiri…

Kita mati…
Mati dalam kepuasan diri,
Mati dengan ikhlas, tulus tanpa sesali,
Mati dengan senyum merekah di hati….”


Sobat… apa kabarmu? Telah lama kita tak bertemu. Rindu menyerbu kalbuku, jiwa penasaranku mencarimu. Hilang ke mana ragamu? Hilang ke mana nyawamu? Ku cari kau di tempat kita biasa bertemu. Kucari kau di kolong langit, ku cari kau di atap barak. Kuteriakkan namamu di bukit-bukit, di parit-parit, tak juga keberjumpa bayangmu. Kubertanya pada sang angin tempat kau mengadu. Pun ia tak tahu ke mana pergimu. Kuteriakkan namamu di lorong waktu, yang kudengar hanya gema-boomerang suaraku. Habislah nafasku, pupuslah kerinduanku, punahlah harapanku. Sobatku hilang ditelan bumi, atau jangan-jangan genderuwo jahat membawanya pergi. Mungkin juga dedemit nakal malah membawanya ke negeri peri (sobatku pernah mengaku dirinya keturunan peri, makanya ia tak pernah bisa diam dan pintar menari). Ataukah kini ia bertengger di tepi kali? Memandang riak air yang tak pernah henti. Tempat kita kecil dulu biasanya mandi, bertelanjang bulat tanpa perduli. “Mengapa harus perduli?” begitu tanyamu.“Kita sama-sama rindu kebebasan ini. Tak ada tali, tak ada kerangkeng pengekang diri.” Lalu kita pun tersenyum sendiri, biarlah kita jadi mahluk bebas sekali-sekali, walaupun cuma di kali. Tapi kau juga tak ada di sana. Kali itu kini jorok kelihatannya. Sungguh amat berbeda ketika kita mandi bersama. Aku tahu, mungkin itu sebabnya, kali itu tak murni lagi, tak suci lagi, sudah tercemar segala macam bentuk polusi. Bodohnya aku, mencarimu ke tempat yang tak lagi kita minati.

Lalu aku harus ke mana lagi? Mungkin ku harus bertanya pada sang bintang sejati. Tak tahukah kau, sering kau kuamati. Saat kau menatap sang bintang tanpa henti. Bermain mata, tersenyum kau sendiri. Kau berkata-kata tanpa henti, bercakap-cakap dengan penuh arti. Sayangnya… tak satu pun kumengerti. Tak apa, kulihat kau terbahak-bahak kini. Sungguh sang bintang sejati obat mujarab di kala kau sakit hati. Dan kutersenyum melihatmu bahagia. Mengucap syukur penuh gembira. Sobatku ngga kuper lagi, setidaknya dia berani: bilang cinta tanpa takut lagi. Tapi sang bintang sedang muram rupanya. Tak lagi bersinar-sinar seperti malam-malam sebelumnya. Dan aku pun bertanya, “Adakah sobatku bersamamu?” Tapi ia diam seribu bahasa. Semakin reduplah sinarnya. Kurasa sang bintang terluka: jiwa, raga, batin dan hatinya. Oh tidak, jangan-jangan ia akan mengakhiri hidupnya, hanya karena kekasih jiwanya hilang, pun tak ada kabar berita. Menyesal aku telah bertanya padanya tadi.

“Jangan menangis wahai sang bintang…”
semoga didengarnya nasehat kunoku ini.

“Sobatku pasti kembali…"
dan kulihat matanya berkaca-kaca kini.

“Sobatku kan rindukan dirimu…”
sepertinya tangisnya akan meledak sesaat lagi.

Dan kulihat butiran-butiran bening itu mengalir, jatuh perlahan dengan anggun. Dan aku pun tetergun. Sang bintang yang lembut, sang bintang yang rapuh, sang bintang yang begitu tulus.

Butir-butir itu pun terus mengalir, deras, dan semakin deras. Terus menetes tanpa henti. Deras, semakin deras… Membasahi bumi, membasahi wajahku. Sang bintang sungguh berduka hati. Gelegar petir pun menyambar. Kilat menjulur- julur, bersilat, berkelebat. Badai telah datang.

Aku kehujanan:
Karena sang bintang menangis hebat,
Oleh pertanyaanku yang sungguh menyengat,
“Di manakah wahai kau Sobat?”

*********

Aku nekad, tak lagi aku perduli. Sobatku benar-benar lenyap seperti di novel-novel misteri. Aaaakkgghhhhhhhh, bagaimana ini??!! Mengapa kau hilang tanpa jejak, tanpa arti? Akulah yang bingung kini. Kau sungguh bukan sobat yang baik hati. Teganya kau pergi jauh tanpa pesan, tanpa secarik basa-basi. Masihkah kau anggap sobatmu ini? Baiklah kalau memang begini. Tak ada guna lagi ku hidup di dunia ini. Sobat tercintaku telah pergi. Untuk apa lagi? Untuk apa lagi? Biarlah aku jadi setan pengganggu hidupmu, biar kau tahu rasanya penasaran mencarimu.

Tapi… aku tak tahu caranya mati. Segala ilmu dan jurus telah kau beri. Hanya yang satu ini. Bagaimana caranya mati? Kau pernah berbagi pengalamanmu sendiri. Saat kau juga ingin mengakhiri hidup nan laknat ini. Kau mencoba gantung diri. Sayangnya kau salah memilih dahan pohon. Bukan pohon beringin, bukan juga pohon jati. Mengapa pohon toge yang kau pilih? Salahmu sendiri. Lalu kau pun menegak pil-pil ekstasi. Katamu cara ini adalah mati dengan penuh harga diri. Baru tiga pil kau tegak, kau berteriak-teriak histeris tak sadarkan diri, dan kau panggil tabib dari seluruh pelosok negeri. Dengan keringat dingin membanjiri terengah-engah kau bersaksi, “Terima kasih tabib untuk pertolonganmu, untung saja aku tidak jadi mati!” Bagaimana sih kau ini? Katanya mau bunuh diri? Dan aku pun tak pernah percaya pada omong kosongmu lagi. Apalagi saat kau berteriak lantang ingin mengakhiri hidupmu untuk kesekian kali. Bah, itu semua cuma mitos, sudah basi! Kau tak kan pernah berani! Tapi aku bukanlah pembohong sobat! Aku lebih berani menantang sang kiamat! Biar saja, aku pasti akan berhasil. Tak seperti dirimu yang terus berlagak tapi hasilnya nihil! Nih, kan kubuktikan padamu kini:

Akan ku hadapi si El Maut:
Kan kubuat dia bertekuk lutut!
Mengemis, menangis dan meringis,
Lihat saja!

Errrr… tapi, bagaimana caranya? Haruskah kutempuh jalan itu? Jalan keramat dan menyeramkan itu? Katamu itulah jalan satu-satunya, untuk bertemu sang El Maut gagah perkasa. Ngeri juga sih kedengarannya. Tapi tentu terjamin hasilnya! Aku mati, tanpa bilang siapa-siapa (sekali lagi karena sobatku lenyap, tiada kabar berita). Dan aku pun bersiap-siap untuk ritual itu. Ritual kematian versi megahku. Kulihat pantulanku di kaca dulu. Masih tetap cantik dan mempesona seperti dulu. Tentunya sang El Maut kan terpana menatapku.

Kuberbaring di padang bukit, di tengah indahnya rerumputan mewangi. Tersenyum aku memandang awan-awan berbaris. Kulihat wajahmu, wajahnya, wajah kita, wajah sang bintang, wajah dunia. Kupejamkan mataku, bersiap melontarkan mantera keramat. Mantera pemanggil El Maut yang dashyat. Mantera yang selalu tepat. Dan beginilah ia tergurat:

“Gantengnya kau wahai El-Maut,
Tampannya kau wahai El-Maut,
Kerennya kau wahai El-Maut,
Godain kita dong El-maut…”

Bagian berikut harus diulang-ulang seperti echo, cho, cho, cho:

“Toel-toel….
Toel-toel…
Toel-toel…
Toel-toel…”

Dan begitulah kumulai ritual bunuh diriku. Membisikkan mantera yang membuat berdiri buluk kudukku. Bukan karena takut atau pengecut, aku ragu mantera ini akan manjur. Kok bisa-bisanya ada mantera ‘ndablek seperti ini? Bukannya mantera-mantera harus berkesan angker pada umumnya dan bikin merinding pada khususnya? Misalnya mantera penghilang ketombe versi sebuah shampo di iklan-iklan tivi, terdengar lebih gaya dan membahana:

“kutumbaba-kutumbaba- ya- yaaaaaaaa….”

Tapi mantera si El Maut ini kok malah terdengar blo’on nan culun? Jangan-jangan ini bisa-bisanya sobatku saja. Dan telah kuucapkan bait pertama, sekarang tinggal bagian noel-noel saja. Dan aku pun komat-kamit sendiri tak karuan. “Toel-toel, toel-toel, toel-toel…”

*Senyap*

Loh… kok ngga terjadi apa-apa? Mana ini si El-Maut sialan? Sudah berbusa jampi-jampi mantera ‘ndablek itu kok malah ngga datang-datang? Sial!!! Mau mati saja kok susah minta ampun?? Mosok aku mesti ikut-ikutan gantung diri di dahan pohon toge seperti si bodoh itu? Kapan matinya? Dan jelas aku ngga rela menegak ekstasi, lah wong minum panadol saja sudah teler tiga hari. Haduuuuhhhh, bagaimana iniiiii??? Ogh, mungkin aku kurang menghayati, yah, pasti itu sebabnya. Aku kurang penghayatan dan kesungguhan. Baiklah akan kumulai lagi. Kali ini dengan suara lebih seksi dan sengau. Kali-kali El Maut naksir cewe seksi nan menggoda. Dan ku-ucapkan lagi mantera ajaib itu, dengan penghayatan penuh, penuh perjuangan… Sampailah aku pada bagian toel-toel lagi:

“Toel-toel, toel-toel, toel-toel, toel-toel…”

Toel-toel, toel-toel, toel-toel…
Aku di-toel-toel…
di-toel-toel aku…
Ada yang menoel aku…
seseorang menoel-ku….

Haduuuuhhh, siapa sihhhhh??? Orang lagi konsentrasi nihhhh, pake di-toel-toel segala. Tetap saja kupejamkan mataku sambil berteriak makin lantang dan garang:

“TOELLLL-TOEEEEELLLLL…”

Toelannya mendadak berhenti, aku malah jadi bingung sendiri.

“Buset! Galak amat bilang noelnya… Siapa yang mau ‘mbak?”

Suara itu ku-kenal, amat ku-kenal…

Perlahan-lahan kubuka mataku. Betapa kagetnya aku, mendadak kulihat sobatku di sana!!! Aku melongo, nelongso, tak tahu harus berkata apa, teganya dia, di saat aku mau mati, baru muncullah sosoknya. Sobatku nyengir. Lah kok dia malah nyengir? Kok dandanannya necis? Kok ngga gembel kayak biasanya? Kok ganteng juga ya?

“Apa kabar sayang? Masih muda dan cantik begini kok malah mau mati?” sapanya lagi. “Itu, anu…. Anu, itu….” dan aku pun cuma bisa ber-itu-anu. “Perkenalkan, nama saya El-Muta… saudara sehati dan sejiwa abang seperguruan saya: Mas El-Maut… Maaf ya sayang, saya yang datang, soalnya belakangan ini angka bunuh diri tinggi, jadi mas El-Maut lumayan sibuk, ngga semua kasus dia tangani, bukannya pilih-pilih, tapi dia dipaksa harus memilih. Untuk kasus-kasus gawat nan darurat seperti minum Baygon atau kepeleset kulit kacang, dia pasti datang. Tapi kasus kamu…. Jarang-jarang loh… Apalagi mantera keramat itu. Dia sih pasti senang di-toel-toel, tapi apa boleh buat… kasus kamu tergolong minor. Mati karena ditinggal sobat sejati… Tragis juga…”

*Aku melongo*

*Aku tetap melongo*

Aku pasti sedang mimpi, lalu kucubit tanganku sendiri. Kok ngga sakit? Tuh kan aku sedang mimpi. Eh bukan, aku kan sudah mati, mana bisa menyakiti diri? Ada orang gila yang begitu mirip dengan sobatku dan malah mengaku-ngaku saudara seperguruan El-Maut yang datang menjemputku, karena aku telah sukses mati-disebabkan membaca mantera nan ‘ndablek itu. Boleh juga. El-Muta nyengir lagi. Kali ini lebih lebar dan lebih bersahabat.

“Karena kamu sudah mati dengan sukses, sekarang kamu harus ikut aku…”

Ikut kamu??? Ke mana??? Aku orang baik-baik ini, aku harus pergi ke surga dan bukan ke neraka! Aku pasti ke surga kan? Iya kan? Iya kan? Kuguncang-guncang bahunya.

“Kita akan pergi ke negeri peri…”

Negeri peri? Ha??? Ngapain ke sana? Bertemu Pek? Atau Oberon? Hukumanku dikutuk jadi peri? Ha??? Ngga mau! Ngga mau! Aku terlalu cantik untuk jadi peri, bakatku akan sia-sia kalau aku jadi mahluk kecil tiada arti! Aku ngga mauuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!

“Hush, jangan teriak-teriak di sini!!! Nanti dedemit dan tuyul-tuyul bisa datang dan membawamu pergi!”

Lebih ngga mau lagiiiiii!! Bagaimana sih ini?? Aku kan mestinya mati, mestinya menuju kebahagiaan abadi. Aku tak sudiiiiiiiiiii… Tak suuuuuudddd….

*hmmmmmppphhh….*

Mulutku dibekep. “Sssstttt… mau diam ngga? Kamu sedang mencari sobatmu kan? Dia ada di sana… di negeri peri…. Makanya kita akan ke sana…”

Dan aku mengangguk-angguk tanda setuju. Kali ini aku percaya kata-katanya. Tuh kan sudah kuduga. Pasti sobatku ada di sana. Di negeri peri nun jauh di sana. Katanya ia ingin bertemu si ratu peri: Titania. Minta berkat dan anugerah darinya. Kubilang hati-hati pada si Oberon-raja peri si pencemburu buta. Bisa-bisa kau diguna-guna, dikerjai si Pek pengikut setianya. Tapi sepertinya sobatku tak perduli, dia ingin hidupnya berarti dan bermakna. Makanya ia nekad juga akhirnya. Pergilah ia mengembara. Meninggalkan sang bintang yang luka hatinya.

Dan aku kan pergi menyusulmu wahai sobatku. Tunggulah kedatanganku, bersama si El-Muta ini, aku kan datang menjemputmu. Tak kan kubiarkan si Pek-peri jahil itu menyentuhmu. Tak kan kubiarkan si Oberon galak itu memaki-makimu. Dan tak kan kubiarkan juga kau main mata dengan si Titania. Enak saja… jelas masih cantik-kan aku lah yaaaa! Aku dataaaaaaaaanngggggg……
*************
another sketsa yang masih belum selesai...

Sunday, June 19, 2005

SaMuDeRa...


“Aku terlahir dari rahim laut…
Dan samudera adalah bunda terkasihku…
Ombaklah saudara-saudari sedarahku…
Aku terlahir yatim… tanpamu ayahandaku…
Aku terlahir dari rahim laut…

Dan di sanalah akan kupersembahkan jasadku…”


Samudera begitu luas…tak berujung… tak bertepi… Segala air yang tertampung di atasnya adalah satu. Samudera Hindia, Laut Merah juga laut dingin dan beku di kutub utara sana adalah sejiwa, satu raga walau terpisahkan benua. Begitu pun ombak yang berbuih dan menghantam karang. Sebuah lambang keabadian. Tercipta oleh dorongan angin, ombak pun bergulung, gagah perkasa ia menghantam kokohnya batu karang. Dan ia pun pecah, bermetamorfosa menjadi buih-buih kecil yang indah. Ia tidak lagi garang, disapunya dengan lembut pasir dan hewan-hewan kecil di tepian pantai. Dan kembalilah ia kepada samudera. Di mana angin akan kembali menghembuskan nafasnya dan terciptalah sebuah nyanyian di sana.
Dan sepi mulai menggerogoti jiwaku. Kesendirian yang ternyata kurindukan. Senyap yang tak perlu bercakap. Aku pulang. Dan samudera menyambutku. Tak ada yang pernah berubah, untukku, dan hanya untukku. Angin semilir ini masih angin yang sama. Ombak yang berderu pun juga ombak yang menyapa telapak kaki-kaki kecilku dulu. Pasir ini… adalah sahabat karib yang selalu menemaniku bermain. Mereka menungguku… mereka selalu setia menungguku kembali. Alam ini masih alam yang sama, yang selalu hangat menyambutku. Dan akulah yang ternyata telah jauh melangkah. Jauh menyebrangi samudera, menembus cakrawala. Tetapi ternyata sebuah kerinduan menyerbu kalbuku. Sebuah kerinduan masa laluku. Kerinduanku padamu wahai samuderaku. Sebuah kerinduan yang tak bertepi… dan kini terpatri. Dan kuteringat akan hari-hari indah itu. Dimana aku selalu bercumbu denganmu wahai alamku. Di mana kan kutumpahkan seluruh isi sanubariku padamu. Karena kita tak perlu aksara, karena kita tak perlu segala tanda baca, hanya makna dan seutas tali pengikat jiwa. Dan kita pun mulai berkata-kata, dalam sebuah bahasa yang tak kan pernah dimengerti insan manusia. Tentang segala hukum jagad raya, tentang segala norma dan kasta semesta, tentang merdekanya seonggok mahluk bergelar manusia, merdeka dalam kungkungan dunia, terkungkung dalam kemerdekaan individu semata:

Dan aku pun berlari...
Berlomba dengan sang ombak yang bergulung menari…
Dan pasir pun berbisik seraya bernyanyi…
Terdengar lantunan indah, serangkai melodi…
Dan aku kembali.. menghatur raga, segenap diri…
Dan aku berdiri… terpatri…
Sendiri…


“Akhir dari sebuah awal kisah Insani…”
**********
satu dari sketsa yang tak pernah selesai...