Tuesday, October 11, 2005

eBSsa

Mungkin ini lebih cocok disebut pembebasan. Bukan semata-mata duka berkepanjangan.Tapi pembebasan kali ini rasanya agak terlalu mahal. Materi, mental, fisik… dan sang kebebasan telah sukses memporakporandakan segala rasa, segala emosi yang ada.Betapa juga sang waktu telah berhasil ber-kongkalingkong dengan sang kebebasan atas nama ‘bosan.’ Atau jangan-jangan malah si bosanlah sebetulnya dalang dari seluruh peristawa sambung menyambung ini. Dimulai dengan sang rasa yang telah begitu letih tersenyum sepanjang masa. Yang telah terlalu terbiasa dengan segala kemonotonan, kerutinan, kesamaan kejadian, kejadian yang bersamaan, kerutinan yang terasa begitu monoton, kemonotonan yang begitu rutin. Sang jiwa pun tersenyum…bukan karena bahagia… tapi sakit… sakit yang akut… bahwa rasanya ia telah begitu sekarat…. Bahwa selama ini ia telah hidup dalam ke-sekarat-an…Bahwa yang hidup bukan jiwanya… tapi raganya… raganya yang telah dipaksa hidup…oleh dunia…Lebih malang nasib sang cinta, yang pun telah terbiasa oleh sang masa. Dan ia pun mencintai sang masa, bukan lagi karena cinta… tapi karena terbiasa. Sungguh malang nasibmu cinta. Karena ketika kau terbangun dari mimpi berjuta-juta tahun lamanya, kau hanya bisa tertegun… mendapati dirimu sendiri… bercermin pada pantulan hati… dan tak kau temukan cinta lagi di sana. Telah pergi ia terbang mengembara, bersama sang masa.

Dan datanglah gairah. Tersenyum jumawa. Dengan segala kegagahan dan ketangguhannya. Menentang, menantang seisi dunia. Gairah yang hidup karena alam. Gairah yang hidup karena ialah nafas, karena ialah nadi bumi yang telah berdenyut sebelum alam tercipta. Gairah yang tak akan pernah mati, tak akan pernah sirna karena masa, karena cinta, karena segala sebab musabab di dunia. Gairah hanya ada, gairah akan selalu ada. Dan kali ini ia datang, tidak sendirian. Ia datang bersama seorang kawan: kesadaran. Kesadaran yang kehadirannya begitu menghenyak, mengguncang.

Dan tiba-tiba segalanya tampak begitu jelas: sang provokator- si bosan, sang objek penderita- si rasa, sang penghayal – si cinta… Sang pemutar balik fakta – si gairah dengan kawan setianya si kesadaran. Dan lengkaplah seluruh cerita: jiwa yang terbangun dari tidur berabad-abad lamanya. Tersenyum menatap gairah yang telah sabar menunggu, yang kini bertanya: siapkah sang jiwa terbang besamanya. Sang kesadaran membelai lembut sang cinta yang sibuk dengan segala khayalannya. Mengajaknya merenung, mengajaknya bercanda, mengajaknya tersadar dalam lamunan panjang tentang idealisme kasih.

Kali ini rasa bukan hanya bersimpuh pada mereka. Pada sang gairah dan kesadaran yang datang kembali. Kali ini rasa begitu bersyukur… atas segalanya yang telah terjadi. Walau dengan demikian, sang rasa harus menyepi… menyingkir sejenak dari segala kehidupan duniawi. Untuk boleh bercermin pada jiwa, pada hati nurani yang sesungguhnya…. Untuk di kemudian hari kembali… kembali tersenyum pada dunia. Pada dunia yang selalu dirasa mengutukinya. Pada dunia yang selalu dirasa menghukumnya dengan segala cara. Pada dunia yang telah dituduhnya membunuh sang gairah dan sang kesadaran dalam entah kehidupan silam yang mana.Sang jiwa ingin hidup, sang jiwa ingin tetap hidup….

Semoga mereka yang merasa telah dikhianati sang jiwa suatu saat akan mengerti. Semoga akan pernah mencoba untuk mengerti. Entah untuk sebuah alasan pembela argumen diri, atau sekedar pembebasan rasa bersalah. Pembebasan yang akhirnya datang: atas nama… ke-egois-an… kali ini keegoisan yang beralasan…Selamat malam pembebasan… sampai jumpa gairah dan kesadaran… tolong tetaplah hidup… walau dalam kesendirian…
~ untukmu… ebbsa…~ 1 Oct’05