Sunday, July 24, 2005

Ingin kumencinta...

Seandainya…
Aku boleh mencinta…
Tanpa alasan apa-apa…

Hanya dengan rasa…
Dengan kasih seutuhnya…
Rindu setulusnya…

Seandainya…
Aku boleh mencinta…
Tanpa alasan apa-apa…

Tanpa terikat norma…
Tanpa terkekang agama…
Tanpa terkungkung kasta…

Aku hanya ingin mencinta…
Tanpa alasan apa-apa…

Tanpa aksara…
Tanpa kata-kata…
Tanpa serangkai bait puisi cinta…

Seandainya…
Engkau hadir sebelum dia…
Seandainya… engkau ada dan dia tiada…
Engkau mencinta… begitu pun ia…

Dan cinta hadir…
Aku…
Engkau…
Dia…

Cinta yang tak butuh kata…
Cinta yang tak butuh tali pengikat jiwa…

Aku, engkau, dia…
Tak pernah berbeda…

Kita semua mencinta…
(Semoga) tanpa alasan apa-apa…

Biar cinta juga mencinta…
Hanya karena ia ingin… mencinta…

13 July 2005
“bagi yang ingin mencinta…”

Sunday, July 17, 2005

Aku dan Kota (tua)ku...

Tersenyum. Salah satu kebiasaan “buruk-”mu yang selalu membuat aku ‘jengah.’ Seolah-olah senyummu adalah obat paling mujarab untuk segala sakit penyakit yang sialnya kuderita. Sayangnya tidak. Senyummu cukup untuk se-la-lu membuatku mengernyit bingung, apa yang bisa kau banggakan dari sebuah senyum lebar nan luas yang selalu di-klaim sebagai senyum terindah dari pemiliknya. Dan saat ini pun sama, sebuah adegan yang lebih tampak sebagai de-javu berulang-ulang kali: adalah aku yang datang padamu, kamu yang tersenyum padaku dan tatapan jengahku setelah itu.

Tapi kamu terus tersenyum tanpa tahu malu….

“Tulus” begitu argumenmu. Siapa yang bisa memberikan senyum se-tulus ini untukmu? Haha,lucu juga. Argumen tulus terdengar sangat… tulus. Aku balik tersenyum. Miris…

Nah, kalau senyummu yang ini ngga tulus…
Terserah… jawabku tak perduli.
Berkelahi?
Aku tersenyum lagi. Makin miris…

Tarikan napas…. Dalam…

Mau sampai kapan?
Kok tanya aku?! Memangnya aku yang mau? Kok lucu...
Dan setiap ada masalah kau lari padaku?
Lalu aku harus lari ke mana? Ke neraka?
Gila! Jangan sembarangan ngomong begitu kenapa?!!!

Kalau memang bosan dengan semua ini yah bilang saja, jangan anggap semua omong kosongku ini tak berguna…
Kali ini kau tertawa… terkekeh-kekeh… Aku tak suka… Tawa itu lebih terdengar sebagai ejekan daripada keprihatinan.

Sudah puas? Atau kau butuh satu malam suntuk khusus untuk menertawaiku? Atau satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun? Selamanya sekalian!

Tawamu mereda. Berganti dengan sebuah wajah yang disetel serius. Aku tak suka ini. Karena biasanya setelah ini, kau akan mulai berdehem-dehem sendiri, lalu…

EHEM-EHEM!!! Mari saya perkenalkan! Seorang manusia paling menyedihkan! Tak bisa tertawa, tak bisa menangis, tak bisa marah juga, tak punya rasa! Bisanya cuma… menyusahkan sahabatnya saja! Sahabat yang punya senyum paling indah di dunia!!

Lalu ditoelnya aku. Seperti biasa… aku cuma meliriknya sekilas…

Senyum dong… Kan lebih enak dilihat kalau senyum daripada cemberut begitu…Udah nyusahin orang… cuma buat dikasih tampang jutek… tega amat… oke deh, aku ngalah, malem ini predikat senyum terindah cuma buat kamu…

Dan biasanya rayuan gombal nan tidak bermutu itu selalu mujarab.
Akhirnya kuberikan juga senyum ala kadarku.

Nah, gitu dong. Sekarang baru deh kita ngomong. Ada apa lagi sih kalian?
Apalagi? Yah argumentasi….
Soal itu lagi?
Lalu? Apa lagi?

Tarikan napas dalam… Ke-dua-kali.

Dia yang selalu cari gara-gara!
Kali ini kenapa?
Kamu kan tahu… dia selalu punya cara untuk mengejekku, selalu! Segala cara!
Dan kali ini dengan?
Dengan sukses… jawabku sinis…

Tarikan napas dalam… ke-tiga-kali.

Ada apa dengan sukses?
Yah… dengan sukses… atas nama sukses dia mengejekku lagi… sekali lagi…
Dan kali ini si sukses hadir dalam sosok siapa?
Mereka…Kali ini… dia mengatasnamakan mereka…
Dan argumennya?
Bahwa mereka adalah manusia-manusia sukses… dan aku… bukan…
Lalu argumenmu?
Akulah yang manusia sukses dan bukan mereka!
Dan dia?
Jelas tidak terima!
Alasannya?
Aku manusia gagal. Titik. Tak ada koma.
Itu bukan alasan! Itu pernyataan…
Itu juga yang kusampaikan padanya.
Lalu dia….
Sekali lagi tidak terima!

Engkau kembali terkekeh…

Seandainya aku punya pilihan…
Aku menerawang…

Kamu memang punya pilihan!
Ya benar… sebuah pilihan yang tidak boleh dipilih… Apa itu namanya pilihan?
Kau yang tidak mau memilih…Pilihan itu selalu ada…
Mungkin aku pengecut…
Sekaligus seorang pemberani…
Tapi aku selalu berlari…
Kita semua berlari…
Ya.. aku berlari… di tempatku sendiri…
Kita semua berlari.. di tempat kita masing-masing… bersama…

Tarikan napasku… dalam… pertama kali…

Aku tak ingin selamanya begini…
Begitupun dia… aku… mereka…
Harus ada sebuah akhir…
Sekaligus sebuah awal..

Apa aku siap?
Apa dia siap?

Aku mencintainya…
Aku tahu kau mencintainya…
Tapi cintanya membelenggu…
Kau manusia bebas… itu saja…

Mungkin aku memang tak bisa hidup tanpa dia…
Hidup kan bukan hanya karena cinta…
Tapi cintanya yang telah menghidupiku…
Cintanya atau… materinya?
Cinta tanpa materi sama saja dengan hidup tiada arti…
Dan arti hidupmu hanya sebatas materi?

Tarikan napasku… dalam… ke-dua-kali…

Aku kan hanya manusia…Bukan dewa….
Dewa juga bercinta…
Dewa punya segala kuasa…
Begitu pun kamu… manusia…

Tarikan napasku… napasnya… bersama… dalam…

Keheningan…

Mungkin ini malam terakhir kita…
Aku tahu…
Darimana kau tahu?
Aku hanya tahu…
Kau sahabat terbaikku..
Dan akan menjadi yang terbaik selalu…

Terima kasih untuk segalanya…
Apalah artinya…

Aku akan merindukanmu…
Datanglah sekali waktu…

Aku pergi..
Untuk kembali…


Aku pamit…

Hari itu telah kuputuskan untuk pergi, dengan berjuta harapan di hati. Semoga aku tak akan pernah kembali. Mungkin bila rindu singgah di hati. Kupeluk erat sahabat tercintaku, mengucap pamit, semoga untuk yang terakhir kali. Kulihat ia tersenyum. Kali ini tampak begitu indah… begitu tulus… Teringat aku pada Senja, pada Pagi…sahabat kami. Sampaikan salamku pada mereka. Maafkan aku yang pamit tanpa basa-basi. Biar aku pergi, biar aku pergi mencari yang seharusnya kucari. Dan bila kutemukan itu suatu hari nanti, aku pasti kembali…
Kembali padamu… padanya… pada Pagi dan Senja… pada mereka semua…

Suatu saat nanti… pasti…

“Namaku Malam…
Cintaku pada dunia…
Cintaku pada alam semesta…
Hanya padanya…
Dan hanya untuknya…

Saat kelam menjelang…
Aku selalu bertanya…
Bertanya pada seorang sahabat lama…
Ke mana hilangnya segala rasa?
Ke mana perginya segala mimpi dan asa?
Utuhkah aku sebagai manusia?

Sahabatku… kota tua…
Berkata:
Pergilah mencari apa yang harus kau cari…
Temukan apa yang menunggumu untuk kau temukan…
Dan ketika kau ingin kembali…
Aku ada di sini…
Kota tua-mu selalu ada di sini…

Tersenyum… tulus…

Namaku Malam…
Telah kuputuskan untuk mencari apa yang harus kucari…

Hingga saatnya nanti…
Ku kan kembali…

Bersama mimpi dan angan yang dulu tak pasti…
Yang hidup bersamaku kini…”

Ite-17 July 2005
Untuk manusia-manusia di luar sana yang merasa bernasib sama...