Friday, March 30, 2007

Lalu kita sama-sama terpekur…
Sibuk menyelami ruang semesta hati…
Ditemani angin malam dan hembusan tembakau sesekali….

Dan kau terkekeh,
Senyum ejekan itu terlihat begitu menjengkelkan…
Menyebalkan pada saat yang bersamaan…
Ejekan kesekian kali tentang menghambanya aku pada kepulan asap tembakau…
Sementara kau yang telah jadi hamba setia: dulu, saat ini dan selama-lamanya…

Brengsek!
Argumentasiku hanya satu: atas nama galau…
Lihatlah kau yang terkekeh lagi,
‘Argumentasi itu tak laku’ katamu…
Sudah saatnya aku menghamba bukan atas nama apa-apa…

Kita masih sama-sama terpekur…
Di hadapan angkasa dan taburan indah bintang…

Masih dengan semilir angin malam dan hembusan tembakau berkali-kali…

Kau mulai makian itu…
Kata ‘tolol’ yang mendadak terdengar begitu merdu…
Bergema dan bergaung tak menentu…
Untuk semakin mengingatkanku…
Betapa batas kejeniusan dan kedunguan terkadang tersamarkan….

Karena itu biarkan aku menghamba pada tembakau malam ini…
Lihatlah kau yang terkekeh lagi…

Katamu: berjuta manusia di luar sana,
Mengapa harus dia…

Kalau saja aku tahu jawabannya,
Statusku bukan lagi manusia idiot di hadapanmu…
Dan kau tak perlu mengingatkan ku atas segala kedunguan itu…

Mengapa tak kau lanjutkan lagi segala tanya:
Dari berjuta manusia di luar sana,
Mengapa harus dia?
Mengapa bukan mereka?
Mengapa (bodohnya) kamu memilih dia?
Mengapa (bodohnya) kamu tak memilih mereka?

Dan di hadapan angkasa,
Di hadapan semesta bintang dan jagad raya,
Inilah argumentasi tak bermutu hasil karyaku:

Karena ini hanya rasa…
Yang hadir tanpa prasangka,
Yang menyelinap tiba-tiba…
Bahkan tanpa serangkai kata pembuka…

Merengkuh sesuatu yang tak tersentuh,
Menggapai sesuatu yang tak tercapai,
Menggenapkan sesuatu yang tak sempurna…

Dan sebelum layak ia terbangun dari segala mimpi dan cita,
Hadirlah kenyataan yang mengguncang dengan hebatnya…

Telah dengan bodohnya ia tersenyum,
Telah dengan tololnya ia tertawa,

Untuk telah membiarkan sang rasa
Yang hadir tanpa prasangka, secara tiba-tiba dan tanpa kata pembuka:

Merengkuh sesuatu yang harusnya tak tersentuh,
Menggapai sesuatu yang harusnya tak tergapai
Menggenapkan sesuatu yang harusnya memang tak akan pernah sempurna…

Terlambat…

Yang hadir kini memang rasa,
Dan beberapa tetes air mata…

Masih di hadapan angkasa, semesta bintang dan jagad raya…
(dan hembusan tembakau di hadapan kita)

Kau terpekur melihat kebodohan sesosok manusia…

Katamu: ‘tidak apa-apa…’

Setidaknya masih ada semesta…

Yang pastinya juga telah sama-sama bodoh tertawa bersama kita…

Ada senyum yang akhirnya terukir di tengah derai air mata….

Kataku: ‘Jangan bilang siapa-siapa’

Anggukanmu jaminan kepercayaanku…

Kita sama-sama manusia bodoh, katanya..

Untuk telah sama-sama terbuai dalam sejuta mimpi dan cita…
Untuk telah sama-sama terhempas kenyataan…
Untuk telah sama-sama mengutuki diri (sekali lagi)…
Untuk tetap melakukan ketololan ini (berkali-kali)…

Karena kita pasti akan jatuh hati sobat…
(hari ini, besok lusa atau suatu hari nanti)

(sialnya bukan pada sesuatu yang tepat)

Tak apa….

Kubiarkan kau memaki –ku idiot malam ini…

Besok malam mungkin giliranmu…

(Untuk malam-malam berikutnya sampai kita sama-sama bosan dan akhirnya berkata:

Mungkin kita tak boleh lagi jatuh cinta…)


“Terima kasih untuk kesabaranmu atas mutungku di malam itu”
iTe- 29 March 2007